Grebeg Sudiro, Harmonisasi Antar Etnis di Solo
A
A
A
SOLO - Masyarakat Tionghoa-Jawa di kota Solo setiap tahun merayakan Tahun Baru Imlek yang disebut Grebeg Sudiro. Anda dapat menyaksikan kemeriahan festival ini di kawasan Pasar Gede, Solo.
Festival ini dijadwalkan akan digelar pada 15-18 Februari 2015, disusul rangkaian acara Imlek Festival pada 19 Februari 2015.
Dikutip dari Indonesia Travel, kata grebeg merupakan bahasa Jawa yang digunakan untuk menyambut hari-hari khusus, seperti Kelahiran Nabi Muhammad, Syawal, Idul Adha dan Suro.
Perebutan hasil bumi dan makanan yang disusun dalam bentuk gunungan, menjadi puncak perayaan Grebeg Sudiro. Perebutan hasil bumi dan makanan ini didasari oleh falsafah Jawa yang berbunyi "ora babah ora mamah" yang artinya "jika tidak berusaha maka tidak makan". Sedangkan, gunung sendiri merupakan rasa syukur masyarakat Jawa pada Sang Pencipta.
Gunungan Grebeg Sudiro disusun dari ribuan kue ranjang, yaitu kue khas orang Tionghoa saat menyambut Imlek. Gunungan akan diarak di sekitar Kawasan Sudiroprajan dan diikuti pawai serta kesenian Tionghoa serta Jawa.
Akhir dari perayaan ini ditandai dengan nyalanya lentera atau lampion berbentuk teko yang digantung di atas gerbang Pasar Gede. Penyalaan lampion juga dilakukan di tempat-tempat lain.
Festival Solo 2015 menyuguhkan kesenian barongsai, tarian, pakaian tradisional, adat keraton sampai kesenian kontemporer yang digelar di sepanjang Jalan Sudiroprajan. Arak-arakan tersebut akan berhenti di depan Klenteng Tien Kok Sie, di depan Pasar Gede.
Grebeg Sudiro merupakan salah satu cara menunjukkan harmonisasi antara etnis yang berbeda. Etnis Jawa dan Tionghoa hidup dalam satu lingkungan yang diwarnai tradisi saling menghargai.
Menjelang prosesi Grebeg Sudiro, kedua etnis tersebut saling bantu-membantu mempersiapkan ritual syukur kepada bumi dan alam semesta ini.
Kawasan Sudiroprajan sendiri merupakan sebuah kelurahan di Kecataman Jebres, Kota Solo. Di kawasan ini, warga Peranakan (Tionghoa) sudah puluhan tahun menetap dan tinggal berdampingan dengan masyarakat Jawa.
Seiring berjalannya waktu, terjadilah perkawinan antara kedua etnis tersebut yang kemudian menciptakan generasi baru. Untuk menunjukkan akulturasi ini, diciptakanlah perayaan Grebeg Sudiro.
Festival ini dijadwalkan akan digelar pada 15-18 Februari 2015, disusul rangkaian acara Imlek Festival pada 19 Februari 2015.
Dikutip dari Indonesia Travel, kata grebeg merupakan bahasa Jawa yang digunakan untuk menyambut hari-hari khusus, seperti Kelahiran Nabi Muhammad, Syawal, Idul Adha dan Suro.
Perebutan hasil bumi dan makanan yang disusun dalam bentuk gunungan, menjadi puncak perayaan Grebeg Sudiro. Perebutan hasil bumi dan makanan ini didasari oleh falsafah Jawa yang berbunyi "ora babah ora mamah" yang artinya "jika tidak berusaha maka tidak makan". Sedangkan, gunung sendiri merupakan rasa syukur masyarakat Jawa pada Sang Pencipta.
Gunungan Grebeg Sudiro disusun dari ribuan kue ranjang, yaitu kue khas orang Tionghoa saat menyambut Imlek. Gunungan akan diarak di sekitar Kawasan Sudiroprajan dan diikuti pawai serta kesenian Tionghoa serta Jawa.
Akhir dari perayaan ini ditandai dengan nyalanya lentera atau lampion berbentuk teko yang digantung di atas gerbang Pasar Gede. Penyalaan lampion juga dilakukan di tempat-tempat lain.
Festival Solo 2015 menyuguhkan kesenian barongsai, tarian, pakaian tradisional, adat keraton sampai kesenian kontemporer yang digelar di sepanjang Jalan Sudiroprajan. Arak-arakan tersebut akan berhenti di depan Klenteng Tien Kok Sie, di depan Pasar Gede.
Grebeg Sudiro merupakan salah satu cara menunjukkan harmonisasi antara etnis yang berbeda. Etnis Jawa dan Tionghoa hidup dalam satu lingkungan yang diwarnai tradisi saling menghargai.
Menjelang prosesi Grebeg Sudiro, kedua etnis tersebut saling bantu-membantu mempersiapkan ritual syukur kepada bumi dan alam semesta ini.
Kawasan Sudiroprajan sendiri merupakan sebuah kelurahan di Kecataman Jebres, Kota Solo. Di kawasan ini, warga Peranakan (Tionghoa) sudah puluhan tahun menetap dan tinggal berdampingan dengan masyarakat Jawa.
Seiring berjalannya waktu, terjadilah perkawinan antara kedua etnis tersebut yang kemudian menciptakan generasi baru. Untuk menunjukkan akulturasi ini, diciptakanlah perayaan Grebeg Sudiro.
(nfl)